Senin, 31 Januari 2011

Bukan Aku Yang Dulu Lagi

 Kalau liat keadaan diriku yang sekarang, nggak ada yang percaya saat aku ngomong kalau aku tuh dulunya pendiem banget. Ada yang ngomong, “Masa sih, nggak mungkin!”. Ada yang bilang, “Ega pendiem? Yang bener aja!”. Bahkan ada yang sampai ketawa ngakak sambil ngomong, “Hah, kaya gini pendiem? Aku nggak bisa mbayangin!”
            Ya, hampir semuanya bereaksi seperti itu karena saat ini aku sendiri pun merasa kalau aku sudah bermetamorfosis. Dari seekor ulat kecil yang pemalu menjadi seekor kupu-kupu yang dengan bangga memamerkan sayapnya.
            Dulu, masih teringat jelas dalam ingatanku, dalam satu hari, kira-kira cuma ada belasan kata yang keluar dari mulutku. Di sekolah, aku tidak berani untuk mengeluarkan pendapatku. Aku terus-terusan menunduk. Aku tidak berani untuk mengajak ngobrol teman yang ada di dekatku. Aku sungguh pemalu. Alhasil, aku cuma punya sedikit teman.
            Di rumah pun sama saja. Aku jarang keluar rumah. Itu hanya kulakukan bila aku membutuhkan sesuatu yang harus kubeli di warung. Warung itupun jaraknya hanya satu lebar jalan. Tinggal menyeberang sedikit saja, sampai. Selain untuk itu, aku terlalu malu untuk melakukannya, karena di sekitar rumahku saat itu banyak anak-anak yang kurang lebih sebaya denganku. Namun justru karena itulah, aku jadi takut keluar rumah. Aku terlalu malu untuk berkenalan dan bermain dengan mereka. Aku tidak kenal satu pun dari mereka.
            Mungkin kalian luar biasa heran, betapa pemalunya aku pada waktu itu, dan apakah aku terlalu membesar-besarkan hal itu. Tapi itu benar. Bahkan sampai sekarang aku nggak habis pikir akan diriku yang dulu. Aku gemesssss banget, sampai-sampai aku punya impian, kalau aku punya Doraemon, aku bakal pakai mesin waktunya Doraemon buat kembali ke masa lalu, trus ngetok kepala diriku yang dulu, buat mbikin dia melek dan sadar akan sifanya yang luar biasa super duper pemalu itu.
            Tapi mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak mempunyai robot kucing yang lucu itu, karena untuk sifat pemaluku itu, ada pemecahan yang lain tanpa perlu bantuan Doraemon. Waktu itu kira-kira saat awal kelas 4 SD. Salah satu tetanggaku yang umurnya sebaya denganku datang ke tempatku. Kalau tidak salah waktu itu dia datang untuk mengantarkan nasi syukuran. Kebetulan waktu itu tidak ada orang lain di rumah selain aku. Waktu melihatnya, aku mengenal dia. Dia salah satu dari anak-anak yang sering bermain di depan rumahku. Tapi payahnya, aku sama sekali tidak tahu namanya dan bahkan rumahnya.
            Anak cewek itu kelihatan ceria sekali. Wajahnya penuh dengan senyum waktu dia memberikan nasi syukuran itu padaku. “Makasih....” hanya itu ujarku sambil tertunduk malu.
            Anak itu memperhatikanku sejenak. “Anak baru, ya?” tanyanya.
            “Enggak kok, udah lama...”
            “Kok aku nggak pernah liat, ya?”
Aku cuma mengangkat bahu.
“Ya udah deh, kenalin. Namaku Ratih. Namamu siapa?”
“Ega.”
“Ooo... Ga, kapan-kapan main bareng, ya! Dah!”  Kemudian dia pergi.
Kata-kata itu selalu kuingat. Karena kata-kata dari anak yang ternyata bernama Ratih itu telah cukup merubah hidupku.
Setelah mengajakku berkenalan terlebih dahulu, Ratih mulai mengunjungiku secara teratur. Tadinya dia nyerocos terus sendirian, sedangkan aku cuma ngedengerin doang. Ratih nggak berenti ngomong. Hal apa aja diomongin. Sampai-sampai aku waktu itu mikir, jangan-jangan ni anak gila. Omongannya lucu-lucu, aku sering dibuat ketawa. Lama-lama aku jadi kena pengaruhnya. Aku sedikit-sedikit mulai menanggapi apa yang diomongin Ratih. Aku udah nggak sependiem dulu sejak dia dateng.
Tapi itu belum apa-apa. Setelah aku agak berubah, dia mulai mengajakku main di luar rumah. Pertamanya aku nggak mau, dengan mengajukan berbagai alasan yang aneh bin ajaib. Namun akhirnya aku mau juga.
Ratih ngajak aku main bola di lapangan bareng anak-anak cowok. Mungkin dia inget waktu aku cerita kalau aku suka nonton sepakbola, apalagi klub Real Madrid. Tapi aku kan cuma bilang suka nonton, bukan suka main. Apalagi bareng cowok-cowok. Namun ternyata anak cowok nggak seburuk dugaanku. Waktu aku kenalan sama mereka, ternyata semuanya lucu dan gila-gila. Aku sampai terbahak-bahak kalau dengar leluconnya. Mereka ada yang lebih tua dariku, ada yang lebih muda. Namun semuanya anak SD.
Akhirnya aku main jadi kiper, karena waktu itu nggak ada yang pengin jadi kiper, semuanya pengin jadi striker. Aku anak cewek sendirian. Ratih nggak mau ikut. Dia lebih suka nonton di pinggir lapangan. Eh, nggak kusangka, ternyata aku hebat juga jadi kiper. Hehehe. Padahal baru pertama main. Aku pun makin deket sama temen-temen baruku itu. Kami main bola setiap hari. Entah hari hujan, entah matahari lagi panas-panasnya.. Dan aku selalu jadi kiper.
Kami juga ngelakuin banyak hal asik lain. Mulai dari main layangan, mancing ikan di kali, nyuri tebu, nangkep walang, hujan-hujanan, dan banyak lagi. Aku selalu main sama anak-anak cowok itu, Bagus, Putra, Akbar, Aziz dan beberapa anak lain. Setelah itu aku jadi anak yang tomboy, tapi nggak lagi jadi anak yang pemalu. Nggak juga di sekolah. Aku mulai mencoba menyapa, ngobrol dan main bareng temen-temen di sekolah. Lama-lama, di sekolah aku punya banyak temen. Di rumah, aku nggak cuma main bola sama anak-anak cowok aja, tapi aku mulai dikenalin sama anak-anak cewek yang lain oleh Ratih. Mereka juga asik-asik, tapi aku lebih banyak main bola bareng anak-anak cowok.
Baru setelah itu kusadari, punya temen tuh asik banget, dan nggak ada ruginya. Aku mulai keasyikkan punya temen-temen baru, sampai akhirnya aku ngelupain satu orang yang mungkin adalah teman sejatiku. Ratih. Ratih nggak suka main bola, dia ngajak aku main bola cuma karena dia tahu aku suka sama sepakbola. Jadinya setiap aku main bola Ratih nggak pernah ikut, dan aku mulai ngelupain dia.
Waktu aku mulai inget sama dia, ternyata Ratih udah pindah. Dia pindah tanpa ngasih tahu anak-anak yang lain. Padahal aku belum sempat bilang satu kata padanya. Terima kasih. Terima kasih banyak. Ratih.

NB : ini tulisan waktu jaman SMP... Puas juga soalnya bisa menang juara I lomba nulis Bapa Uskup... hhahaha... Tulisan ini, dan satu essay yang aku buat waktu SMP, yang selalu jadi motivasi aku buat terus nulis, dan nulis lebih baik lagi. :)

1 komentar:

  1. crita terbaik yg pernah ak dengar pertama kali n ak baca kemudian.

    luar biasa..

    BalasHapus